https://hidetanakake.com/ JAKARTA — Mata uang rupiah ditutup melemah pada posisi Rp16.611 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan hari ini, Selasa (25/3/2025). Berdasarkan data dari Bloomberg, rupiah tercatat turun sebesar 0,27% atau 44 poin dari posisi sebelumnya. Pada waktu yang sama, indeks dolar AS menguat 0,18% ke angka 104,122. Mata uang dari beberapa negara Asia lainnya juga bergerak bervariasi terhadap dolar AS, dengan rupee India melemah 0,18%, baht Thailand turun 0,11%, dan peso Filipina melemah 0,45%. Sementara itu, dolar Taiwan mengalami penurunan sebesar 0,15%, yuan China melemah 0,04%, ringgit Malaysia turun 0,07%, won Korea turun 0,04%, dolar Singapura melemah 0,07%, dan dolar Hong Kong melemah 0,01%, sementara yen Jepang sedikit menguat sebesar 0,02%.
Prediksi Pergerakan Rupiah ke Depan
Pengamat Forex, Ibrahim Assuaibi, menyatakan bahwa pada perdagangan sore hari ini, rupiah ditutup melemah 44 poin ke level Rp16.611 per dolar AS. Sebelumnya, pada sesi perdagangan Senin (24/3), rupiah juga melemah 55 poin, mencapai level Rp16.567 per dolar AS. Untuk perdagangan pada Rabu (26/3/2025), Ibrahim memprediksi bahwa rupiah akan bergerak fluktuatif, namun kemungkinan besar tetap ditutup melemah dalam rentang Rp16.610 hingga Rp16.660.
Ibrahim menjelaskan bahwa tantangan global yang semakin besar, terutama dengan meningkatnya tren proteksionisme di negara-negara maju, ditambah dengan berbagai faktor domestik yang juga tidak mudah, dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia. “Target pertumbuhan ekonomi di atas 5% yang digadang-gadang oleh pemerintah kini tinggal menjadi harapan,” ujarnya dalam keterangan resmi pada Selasa (25/3/2025).
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Ibrahim memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 hanya akan tercatat sebesar 4,9%, lebih rendah dari prediksi sebelumnya yang berada di angka 5,1%. Bahkan, pada tahun 2026, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan tetap berada di angka 4,9%, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 5,15%. Penurunan ini mencerminkan outlook investasi yang semakin lemah dan adanya peningkatan risiko perdagangan akibat ancaman tarif yang diusung oleh Presiden AS, Donald Trump.
Lebih lanjut, Ibrahim mengungkapkan bahwa perekonomian Indonesia sebenarnya sudah menunjukkan tanda-tanda kelesuan, bahkan sebelum ancaman tarif dari AS menjadi semakin nyata. Arus pemutusan hubungan kerja besar-besaran yang terjadi di sektor industri padat karya seperti tekstil telah mengurangi konsumsi rumah tangga. “Ketidakpastian yang menyertai transisi kepemimpinan, baik di Indonesia maupun di AS, telah berimbas pada permintaan kredit,” katanya.
Dampak Kebijakan Fiskal dan Intervensi Bank Indonesia
Ibrahim juga menambahkan bahwa meskipun Bank Indonesia (BI) telah melakukan intervensi di pasar valas dan obligasi dalam perdagangan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), kekhawatiran investor semakin meningkat. Hal ini dipengaruhi oleh kebijakan fiskal ekspansif yang diluncurkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Kebijakan tersebut menyebabkan adanya pemotongan anggaran signifikan pada sektor-sektor penting seperti pendidikan dan pekerjaan umum, yang pada gilirannya menyebabkan penurunan tajam di pasar saham bulan ini.
Kesimpulan:
Rupiah terus menghadapi tekanan baik dari faktor eksternal maupun internal. Proyeksi ekonomi Indonesia yang lebih rendah dan ketidakpastian yang ditimbulkan oleh kebijakan fiskal serta transisi kepemimpinan dapat mempengaruhi stabilitas mata uang ini. Perhatian terhadap kebijakan pemerintah dan respons pasar terhadap situasi global akan sangat menentukan pergerakan rupiah di masa depan.
